1.
Kebijakan Pangan
di Indonesia Pada Masa Penjajahan
Masa Penjajahan
Menurut
penjelasan di atas bahwa pada masa penjajahan bahan pangan yang penting adalah
beras. Harga beras merupakan landasan kebijaksanaan beras. Selama pada masa ini
harga beras terpuruk, pemerintah memberikan kebijaksanaan untuk tidak ekspor
beras bertujuan untuk mempertahankan stabilitas harga beras didalam negeri. Dan
pada masa penjajahan kebijaksanaan beras yang diambil pada waktu itu adalah
untuk menjaga harga beras yang dibayar konsumen rendah. Ini bertujuan agar
masyarakat tidak sengsara dalam menghadapi kenaikan beras, hal ini ditandai
juga dengan turut campur tangannya pemerintah dibidang produksi beras dan juga
dibentuknya badan VMF. Ketika penghasilan petani jatuh akibat depresi dunia,
pemerintah menurunkan pajak tanah dan pemerintah ikut turut dalam pengawasan
perusahaan penggilingan beras, dengan maksud menjaga pada penggiling agar tidak
melakukan hal yang mengakibatkan goyahnya pasar beras local.
2.
Analisa Mengenai
Kebijakan Pangan Dan Pembangunan Pertanian di Indonesia Pada Masa Orde Lama dan
Orde Baru
Masa Orde Lama
Kita lihat
diatas bahwa pengalaman – pengalaman lampau memberikan banyak pelajaran
mengenai cara – cara peningkatan produksi yang kemudian diambil alih dan disempurnakan
oleh orde baru. Namun perlu di ingat bahwa sewaktu Pemerintah Orde Baru mulai
memegang kekuasaan, sektor perberasan di Indonesia dalam keadaan
menyedihkan.produksi beras di Jawa
dalam tahun 1965hanya 2 persen lebih tinggi daripada produksi tahun 1954,
tingkat produksi yang terakhir inipunhanya kurang lebih sama dengan tingkat
produksi sebelum Perang Dunia II. Hasil
beras per hektar untuk seluruh Indonesia tidak menunjukan kenaikan selama
sepuluh tahun. Kenaikan produksi bersumber semata – mata dari luar Jawa yang
menunjukan kenaikan rata – rata sebesar 1 persen setahun kerena adanya
perluasan areal produksi. Dengan pertumbuhan penduduk sebesar 2 persen setiap
tahun, menyebabkan semakin membesarnya defisit beras bagi Negara ini. Yng lebih
parah adalah menurunnya beras perkapita yang tersedia untuk konsumsi, dari 107
kilogram dalam tahun 1960 menjadi 92 kilogram dalam tahun 1965. Persediaan
beras perkapita ini jauh di bawah tingkat yang cukup bagi pertumbuhan gizi
seperti disampaikan dalam lokakarya mengenai pangan yang diadakan tahun 1968.
Masa Orde Baru
Sejak semula pemerintah orde paru
baru sadarnya pentinggnya persediaan barang beras yang cukup, pada pertengahan
1966 Kolognai diberi tugas untuk menyalurkan dana kepada para pengikut Bisma
melalui para Gubernur dan Bupati di seluruh Provinsi Di Indonesia . Namun pada
target awalnya awal intensifikasi Bisma di tentukan pada tingkat yang cukup
optimis dapat dicapai hasil perhektar. Kenaikan produksi tersebut merupakan
satu sebab utama dicapainya tingkat pembelian beras dalam negri yang sangat
tinggi pada waktu itu, sebelum tahun 1996 harga beras nail 300 persen tetapi
dengan makin mantapnya orde baru, Kolognas dibubarkan dalam tahun dalam tahun
1967 diganti dengan Bulog, sebuah badan yang mengelolah persediaan pangan dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pada tahun 1967 diawali dengan
pertanda yang mengembirakan dengan adanya panen padi musim hujan yang cukup
baik dan pembelian beras dalam Negri cukup besar. Namun pertanda ini hanyalah
pertanda yang semu, pada awal September tahun 1967 panen beras musim kering
ternyata menjukkan penurunan tajam sebagai akibat musim kering panjang yang
melanda Asia Tenggara.
“Krisis beras“ pada tahun 1967
tersebut mengisyaratkan para perumusan kebijakansanaan bahwa program penyediaan
beras memegang peran utama dalam kebijaksanaan stabilisasi secara keseluruhan.
Beras mempunyai bobot 31 persen dalam Indeks Biada Hidup untuk 62 Macam Barang
di Jakarta dan beras merupakan komponen upah yang penting ( wage good )
sehingga memegang peranan ekonomi yang sangat menentukan.
3.
Analisa Tentang
Kebijakan Pembangunan Tanaman Non Pangan Pada Berbagai Era Pembangunan.
Tanaman non
pangan contohnya adalah tembakau. Kita lihat diera saat ini, tembakau banyak
diproduksi oleh banyak pabrik untuk pembuatan rokok. Biaya ekonomi dan sosial yang ditimbulkan akibat konsumsi tembakau terus meningkat dan beban
peningkatan ini sebagian besar ditanggung oleh masyarakat miskin. Angka
kerugian akibat rokok setiap tahun mencapai 200 juta dolar Amerika, sedangkan
angka kematian akibat penyakit yang diakibatkan merokok terus meningkat. Di
Indonesia, jumlah biaya konsumsi tembakau tahun 2005 yang meliputi biaya
langsung di tingkat rumah tangga dan biaya tidak langsung karena hilangnya
produktifitas akibat kematian dini, sakit dan kecacatan adalah US $ 18,5 Milyar
atau Rp 167,1 Triliun.[i]
Jumlah tersebut adalah sekitar 5 kali lipat lebih tinggi dari pemasukan cukai
sebesar Rp 32,6 Triliun atau US$ 3,62 Milyar tahun 2005 (1US$ = Rp 8.500,-)
Jumlah perokok di seluruh dunia kini mencapai 1,2 milyar
orang dan 800 juta diantaranya berada di negara berkembang. Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok
terbesar di dunia setelah Cina dan India. Peningkatan konsumsi rokok berdampak
pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok dan bertambahnya angka
kematian akibat rokok. Rokok membunuh 1 dari 10 orang dewasa di seluruh dunia,
dengan angka kematian dini mencapai 5,4 juta jiwa pada tahun 2005. Tahun 2030
diperkirakan angka kematian perokok di dunia akan mencapai 10 juta jiwa, dan 70% diantaranya berasal dari negara
berkembang. Saat ini 50% kematian akibat rokok berada di negara berkembang.
Bila kecenderungan ini terus berlanjut, sekitar 650 juta orang akan terbunuh
oleh rokok, yang setengahnya berusia produktif dan akan kehilangan umur hidup (lost life) sebesar
20 sampai 25 tahun.
4.
Perubahan
Struktur Ekonomi Indonesia
Menurut Chenery,
perubahan struktur ekonomi sebagai transformasi struktur yang diartikan sebagai
suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu sama lain dalam komposisi Agregat Deman (AD) dan Impor (X-M). Agreat Supply (AS) yang merupakan produksi dan penggunaan faktor-faktor
produksi seperti tenaga kerja dan modal untuk mendukung proses pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi yang berlanjut. (Tambunan, 2003).
Teori umum yang
digunakan dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi, yakni dari Arthur
Lewis tentang migrasi sedangkan Hoilis Chenery tentang teori transportasi
struktural. Pada dasarnya teori Lewis membahas tentang proses pembangunan
ekonomi yang terjadi didaerah pedesaan dan daerah perkotaan.
Lewis juga
mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi 2
yaitu perekonomian tradisional di pedesaan yang di dominasi sector pertanian
dan perekonomian modern di perkotaan dengan industri sebagai sector utama.
Bentuk perekonomiannya masih bersifat tradisianal dan sub sistem, dan
pertumbuhan penduduk yang tinggi maka terjadi kelebihan Supply tenaga kerja.
A.
Struktur
Perekonomian Indonesia
Analisis
struktur prekonomian Indonesia menunjukan bahwa perekonomian Indonesia masih
menjadi tulang punggung perekonomian Negara. Perekonomian Indonesia itu bisa di
tinjau dari keuangan dan bisa juga ditinjau dari keuangan dan bisa juga
ditinjau dari demokrasi pengambilan keputusan dan tinjauan makro sektoral. Jadi
secara keseluruhannya struktur perekonomian Indonesia masih berubah-ubah dimasa
orde baru, secara makro sektoral dan birokrasi.
B. Struktur
Ekonomi Dari Tinjauan Makro-Sektoral
Berdasarkan
tinjauan makro-sektoral perekonomian suatu negara dapat berstruktur agraris,
industri, atau niaga. Hal ini tergantung pada sektor apa/mana yang dapat
menjadi tulang punggung perekonomian negara yang bersangkutan. Dilihat secara
makro sektoral dalam bentuk produk domestik bruto maka struktur perekonomian
Indonesia tahun 1990-an masih agraris, namun sekarang sudah berstruktur
industri.
Struktur perekonomian Indonesia yang industrialisasi pada
saat ini sesungguhnya belum mutlak, tetapi masih sangat dini. Industrialisasi
di Indonesia barulah berdasarkan kontribusi sektoral dalam membentuk PDB atau
pendapatan nasional. Industrialisasi yang ada belum didukung dengan kontribusi
sektoral dalam penerapan tenaga dan angkatan kerja. Apabila kontribusi sektoral
dalam menyumbang pendapatan dan dalam penerapan tenaga kerja diperbandingkan,
maka struktur ekonomi Indonesia ternyata masih dualisme.
Boeke seorang ekonom Belanda mengatakan bahwa perekonomian
Indonesia berstruktur dualistis. Sebab dari segi penyerapan tenaga kerja dan
sumber kehidupan rakyat (53,69%), sedangkan sektor industri pengolahan hanya
menyerap 10,51% tenaga kerja.
C.
Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Keruangan
Pergesern
sturktur ekopnomi secara makro-sektoral senada dengan pergeserannya dengan
keruanngan, ditinjau dari sudut pandang keruangan, struktur perekonomian telah
bergeser dari struktur pedesaan menjadi struktur perkotaan. Hal ioni dapat kita
lihat dan kita rasakan sejak Pelita I hingga era reformasi sekarang ini.
Kemajuan perekonomian di kota-kota jauh lebih besar dibandingkan dengan di
pedesaan., hal ini disebabkan pembangunan industri-industri pengolahan di
daerah perkotaan dan juga makin berkembangnya sarana dan prasarana transportasi
dan komunikasi.
Dengan demikian jumlah penduduk yang
tinggal di kawasan pedesaan menjadi lebih sedikit, hal ini bukan semata-mata
karena perpindahan pendudik dari pedesaan ke kota untuk bekerja di
pabrik-pabrik tetapi juga karena mekar dan berkembangnya kota-kota khusunya di
pulau Jawa sehingga terjadi penumoukan penduduk disini. Disamping itu juga
kehidupan masyarakat sehari-hari semakin modern yang tercermin dari perilaku
konsumtif masyarakat dan juga penerapan teknologi modern untuk proses produksi
oleh perusahaan-perusahaan.
D.
Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Penyelenggaraan Kenegaraan
Ditinjau
dari sini maka struktur perekonomian dapat dibedakan menjadi struktur etatis, egaliter, atau borjuis. Di Indonesia tidak cocok
menggunakan struktur ekonomi borjuris, karena struktur ekonomi borjuris
menimbulkan krisis perekonomian di Indonesia. Sebab, hanya kalangan pemodal dan
usahawan saja yang mengendalikan sektor utamanya. Oleh karena itu, Indonesia
lebih cocok menggunakan struktur ekonomi legaliter, karena struktur ini
dianggap lebih efektif dalam membangun perekonomian di Indonesia. Sebab melibatkan
seluruh penggerak roda perekonomian yang akan membawa perekonomian Indonesia
menjadi lebih baik.
E. Struktur
Ekonomi Dari Tinjauan Birokrasi Pengambilan Keputusan
Dilihat dari sudut tinjauan birokrasi
pengambilan keputusan, struktur ekonomi dapat dibedakan menjadi struktur
ekonomi yang terpusat (sentralisasi) dan tidak terpusat (desentralisasi). Dalam struktur ekonomi yang sentralistis pembuatan
keputusannya lebih banyak ditetapkan oleh pemerintah pusat atau kalangan atas
pemerintahan. Sedangkan struktur ekonomi yang desentralisasi, pembuatan
keputusannya ditetapkan oleh Pemerintah daerah atau kalangan pemerintahan
dibawah. Struktur birokrasi pengambilan keputusan yang sentralistis terpelihara
rapi selama pemerintahan orde baru. Struktur perekonomian yang etatis dan
sentralistis berkaitan erat. Pemerintah Pusat menganggap bahwa Pemerintah
Daerah belum cukup mampu untuk diserahi tugas untuk melaksanakan pembangunan
ekonomi. Namun demikian sejak awal
pembangunan jangka panjang tahap kedua struktur perekonomian yang etatis dan
sentralistis tersebut secara berangsur mulai berkurang kadarnya, dan keinginan
untuk melakukan desentralisasi dan demokratisasi ekonomi makin besar.
REFERENSI:
1.
lib.ui.ac.id
4. Booth, Anne & Peter Mc Cawley. 1982. Ekonomi
Orde Baru. LP3ES
Nama : Dania Purbawati
NPM : 22214511
Kelas : 1EB28
Hello Am Mrs, Morgan debra Am pemberi pinjaman pinjaman yang sah dan dapat diandalkan memberikan pinjaman
BalasHapuspada syarat dan ketentuan yang jelas dan dimengerti pada tingkat bunga 2%. dari
$ 12.000 untuk $ 7.000.000 USD, Euro dan Pounds Hanya. Saya memberikan Kredit Usaha,
Pinjaman Pribadi, Pinjaman Mahasiswa, Kredit Mobil Dan Pinjaman Untuk Bayar Off Bills. jika kamu
membutuhkan pinjaman apa yang harus Anda lakukan adalah untuk Anda untuk menghubungi saya secara langsung
di: morgandebra1986@gmail.com
Tuhan Memberkatimu.
Salam,
Mrs Morgan debra
Email: morgandebra1986@gmail.com
Catatan: Semua balasan harus kirim ke: morgandebra1986@gmail.com